Sabtu, 17 Oktober 2009

SALAM REDAKSI
Beberapa bulan yang lalu Forum Lingkar Pena atau yang lebih dikenal dengan sebutan FLP, sebuah organisasi yang berkiprah dalam dunia kepenulisan, sempat mengalami kemandegan. Hal ini dikarenakan semua pengurus tengah terkonsentrasikan dengan menumpuknya tugas-tugas perkuliahan yang mau tidak mau harus dikerjakan. Selama itu pula, FLP tidak ada sama sekali kegiatan. Namun, pada saat ini FLP berusaha untuk muncul kembali ke hadapan pembaca dengan mengetengahkan Buletin al-Kasyaf yang sempat nongol lima kali.
Kemunculan Buletin ini bertepatan dengan bulan Syawal. Kesempatan tersebut akan dimanfaatkan oleh FLP untuk bershilaturahmi kepada seluruh anggota FLP Garut, seraya mengucapkan Taqabbalallahu Minna Wa Minkum. Alangkah baiknya pula shilaturahmi ini terus terjalin khususnya sesama anggota dengan kembali aktif dalam menulis dan berkarya. Apalagi jika buletin ini senantiasa terbit tiap edisinya, maka setiap anggota bisa ikut nimbrung dalam menyemarakan rubrik-rubrik yang ada dalam buletin ini. Tentunya hal ini merupakan kesempatan dan juga peluang yang tidak boleh diabaikan. Demi kebaikan diri sendiri dan juga kemajuan FLP di masa yang akan datang.
Buletin ini juga, bisa dianggap sebagai ruhnya FLP. Jika saja buletin ini tidak ada maka eksistensi FLP akan mati. Hal ini merupakan gambaran bahwa kehadiran buletin ini sangat fundamental dalam tubuh FLP. Tidak ada tawar menawar lagi, FLP akan terasa kiprahnya jika buletin ini senantiasa hadir ke tengah-tengah pembaca. Oleh karena itu demi terwujudnya buletin ini, redaksi membutuhkan sokongan dan juga dukungan dari berbagai pihak, khususnya anggota baik berupa kiriman tulisan baik fiksi maupun non fiksi. Redaksi sangat terbuka kepada siapapun yang ingin mencurahkan gagasannya lewat tulisan, yang terpenting tulisan tersebut sarat muatan pendidikan dan juga dakwah.
Akhirnya, marilah kita sama-sama berdo’a semoga niat dan juga I’tikad FLP Garut untuk senantiasa berkarya, berada dalam bimbingan dan juga petunjuk Allah SWT. Sehingga dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi kemajuan FLP Garut beserta anggotanya, umumnya bagi khalayak masyarakat banyak. Amin…


REFLEKSI

ANDAI HARI-HARI ADALAH IDUL FITRI
Oleh: Hamzah Zaelani

Iedul Fitri masuk ke dalam daftar hari libur nasional. Semua orang merehatkan diri dari kesibukan (pekerjaan) sehari-hari. Mereka menjadikan hari libur ini sebagai momen yang sangat tepat untuk berkumpul bersama sanak keluarga, juga karib kerabat. Suasana kebersamaan sangat terasa, begitu indahnya. Keakraban semakin bertambah saat mereka saling mengayunkan tangannya untuk disambut oleh yang lainnya, sambil diikuti lantunan do’a “Minal ‘aidin wal faidzin (mohon maaf lahir dan batin), atau yang lebih populer diucapkan Rasulullah saw. “Taqabbalallhu Minna wa Minkum” (semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian),.
Para petinggi Negara pun tak mau kalah. Mereka menggunakan libur lebaran ini untuk bersilaturrahmi dengan rakyat. Demi kelancaran dan keefektifan niat baik tersebut, mereka menggelar open house, sebuah tradisi tahunan yang mana pintu rumah mereka terbuka lebar bagi siapa saja. Tidak seperti hari-hari biasanya, setiap orang yang hadir dalam acara tersebut disambut dengan tangan terbuka dan sikap yang ramah. Bahkan, mereka mendapat senyuman yang dapat menentramkan suasana open house tersebut.
Warga sangat antusias dalam mengikuti program tahunan petinggi Negara ini. Terbukti open house yang digelar bapak Presiden RI diikuti oleh ribuan warga dari berbagai kalangan, bahkan diantara mereka (pengunjung) ada yang datang dari luar kota dan daerah. Suasana fitri tercipta saat orang kaya orang miskin, pejabat dan rakyat berbaur menjadi satu. Semua kalangan dengan tidak melihat status social-sama-sama mendapat kesempatan yang sama untuk bersalaman dengan orang nomor satu di Indonesia, dan keluarganya, sambil mengucap selamat lebaran dan minta maaf. Inilah kesempatan paling tepat untuk melebur semua kesalahan yang selama ini terjadi antara rakyat dan pemerintah (yang diwakili oleh pak presiden). Dengan digelarnya open house tersebut menunjukkan bahwa – katakanlah pemerintah ternyata masih mau membuka pintu maaf bagi rakyatnya. Begitu pun sebaliknya, rakyat dengan senang hati menerima maaf dari pemerintah.
Selain, menyambut para tamu agung dengan tangan terbuka dan senyuman, presiden juga menyediakan jamuan makan. Menu yang disediakan terbilang sederhana. Sekalipun yang hadir pada waktu itu ada dikalangan pejabat pemerintah termasuk para menteri, namun pak Presiden tidak membeda-bedakan menu masakan. Artinya baik pejabat Negara maupun rakyat biasa sama-sama menyantap makanan yang sama dan di tempat yang sama. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang merasa diasingkan. Di sini status mereka sama-sama tamu kehormatan bagi pak presiden.
Akan tetapi ada perhatian lebih yang diberikan pak presiden kepada tamu yang masuk kedalam kelas menengah ke bawah, bisa dibawa ke rumahnya masing-masing, atau sekedar pengganti ongkos transportasi. walaupun secara nominal tidak besar, namun hal itu memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka. Mungkin yang membuat bahagia bagi diri mereka saat bersilaturrahmi ke rumah kediaman Pak Presiden, bukan besar uangnya yang diperoleh. Bertemu, bersalaman, serta mengucapkan selamat lebaran itulah yang membuat masyarakat kecil menjadi bahagia di hari nan fitri ini. Selain itu, mereka dapat menyampaikan aspirasinya tanpa melalui para anggota dewan yang sudah banyak berkhianat. Yang hal ini sangat sulit bila dilakukan pada hari-hari biasa.
Memperhatikan hal di atas, ternyata ‘Iedul Fitri membawa berkah tersendiri bagi rakyat kecil, para petinggi Negara terbuka hatinya untuk berbagi kebahagiaan kepada mereka. Pada hari ini mimpi mereka menjadi kenyataan, dan kenyataan serasa mimpi. Mereka mendapat sambutan hangat dari orang nomor satu di dunia dan dapat menyampaikan aspirasinya. Akankah kesempatan seperti ini akan terwujud pada hari-hari lain? Andai saja hari-hari adalah ‘Iedul Fitri, pasti kebersamaan diantara pejabat dan pemerintah akan terjalin.

Opini

Lanjutkan…!!!
Beramal di bulan Syawal
Oleh: Yan yan Nurdin
Setelah idul fitri, kita dituntut untuk irtifa’ul ‘amal (peningkatan amal). Para ulama dalam kitab-kitabnya menyatakan demikian. Namun anehnya, bukan syawal yang menjadi bulan peningkatan amal justru bulan ramadhan-lah yang pantas disebut demikian. Pada bulan ramadhan-lah segala amal berlipat ganda pahalanya. Oleh karena itu intensitas ibadah baik shalat malam, shadaqah, infak dan juga zakat begitu meningkat. Berbeda dengan bulan syawal hampir dapat dipastikan setiap mesjid yang ada di sekitar kita nampak sepi. Jama’ah yang biasanya sering berkumpul di mesjid akhirnya berpindah ke tempat wisata. Shubuh menjadi kesiangan dan tadarus al-Qur’an menjadi jarang terdengar. Oleh karena itu menurut hemat penulis, syawal bukanlah bulan peningkatan amal akan tetapi penurunan amal.
Penurunan amal ini terjadi dikarenakan ekspresi keceriaan masyarakat terlalu berlebihan dalam menyambut idul fitri ini. Bayangkan saja, seminggu sebelum idul fitri tiba, orang-orang sudah mulai sibuk belanja membeli keperluan untuk lebaran. Mulai dari renovasi rumah, pakaian baru, sandal dan juga berbagai hidangan makanan manis maupun asin. Semua itu membutuhkan dana yang cukup besar. Ketika lebaran ini sudah berakhir maka focus kita bukan kepada peningkatan amal akan tetapi bagaimana mendapatkan uang yang sudah terpakai selama lebaran. Hal ini mengakibatkan kurangnya semangat orang-orang dalam beramal di bulan syawal.
Banyak cara agar di bulan ini intensitas amal kita meningkat. Pertama, hindari makan yang berlebihan karena Allah tidak suka orang yang hidup berlebihan. Selain tidak disukai Allah perut yang kekenyangan akan mematikan hati dan akan membuat kita malas. Baik malas berpikir maupun malas bekerja dan juga beribadah. Kedua, setelah dua atau tiga hari merayakan lebaran lebih baik langsung melaksanakan shaum syawal selama 10 hari. Nabi saw memerintahkan hal tersebut agar kita tidak terlena dengan banyaknya ragam makanan yang tersaji di meja makan kita. Dengan shaum ini setidaknya kita bisa membentengi diri. Ketiga, jika merasa berat bangun di malam hari untuk melaksanakan tahajud maka lebih baik melaksanakan Qiyamullail sesudah shalat Isya. Jika sudah mampu bangun malam hari alangkah lebih baiknya pula kita tahajud. Keempat, kebiasaan memberi dan berbagi selama ramadhan baik itu berupa pemberian zakat, infak dan shadaqah ataupun pemberian makanan untuk tajil tidak boleh berhenti sehabis ramadhan saja. Namun di bulan syawal ini hal itu harus ditumbuhkembangkan. Di sekitar kita masih banyak orang yang kekurangan. Mestinya ibadah kita tidak harus dibatasi dengan waktu. Ibadah shaum tidak hanya bulan ramadhan saja, ada shaum sunat di bulan-bulan yang lainnya. Ada shaum senin kamis, shaum Daud, shaum tengah bulan, dan juga shaum-shaum yang lainnya. Begitu pula Infak dan shadaqah, mestinya tidak hanya ramadhan saja kita gemar berinfak namun di bulan-bulan yang lainnya pun tidak ada salahnya kita saling berbagi.

Khazanah

AL-QURAN & ORIENTALIS
Oleh: Irwan Munawan
Sebuah kitab yang memiliki pengaruh yang besar terhadap peradaban manusia dan memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Setiap orang pasti mengetahuinya meskipun dia bukan seorang muslim. Kitab itu adalah Al-Quran Al-Karim.
Dari abad ke abad dan dari generasi kegenarasi Al-Quran tiada henti-hentinya dikaji dan dibahas oleh para ulama, sampai muncul berbagai kitab tafsir Al-Quran yang dikaji dari berbagi disiplin ilmu. Dijadikan sumber inspirasi oleh para penuntut ilmu, pemburu hikmah, pencari hidayah dan sebagai obat hati. Kitab ini merupakan kitab yang tidak terdapat keraguan sedikitpun, bahkan dia sendiri menyatakan bersih dari keragun, akan senantiasa terjaga sampai akhir masa, dan tidak ada yang bisa menandinginya sampai kapan pun.
Al-Quran itu ibarat matahari yang selalu menginari bumi, peta kehidupan dan kompas pedoman arah penunjuk jalan. Bagaikan cahaya yang menyinari ketika gelap dan obat penawar bagi hati yang gundah. Keunikan Al-Quran ini tidak akan pernah ditemukan dalam kitab manapun di dunia ini. Meskipun kita mencari dari Sabang sampai Meurauke atau bahkan sampai ke ujung dunia tidak akan ada yang semisal Al-Quran.
Dari keunikan Al-Quran ini membuat kalangan non—Muslim khususnya orientalis—missionaris Yahudi dan Kristen iri dan dengki. Mereka tidak akan henti-hentinya dengan segala macam cara mempengaruhi umat Islam agar mengikuti agama mereka. Hal ini seperti ditegaskan dalam Al-Quran, bahwa mereka tidak ridha sampai umat Islam mengikuti agama mereka. Minimal mengikuti pemikiran mereka. Mereka ingin umat Islam itu menggugat dan mempersoalkan hal yang sudah jelas dan mapan (qhat’i) sehingga timbul keraguan terhadap yang benar dan salah.
Para orientalis dalam mengkaji Al-Quran memberi kesan seolah-olah objektif dan otoritatif dengan berkedok penelitian ilmiah menggunakan metode mereka sendiri. Biasanya para orientalis—missionaris mengaku sebagai pakar mengenai bahasa, sejarah, agama, dan tamadun Timur, baik yang jauh (seperti Jepang dll) atau yang dekat (seperti Mesir dll).
Hujatan demi hujatan muncul dari kalangan orientalis terhadap Al-Quran dengan kedok penelitian ilmiah yang katanya objektif. Hal ini sudah lama terjadi sejak abda ke-8 sampai abad ke 16 yang muncul dari kalangan Kristen.
Hujatan mereka dilatar belakangi oleh penolakan terhadap Al-Quran yang meluruskan pondasi agama Yahudi-Kristen. Seperti ayat Al-Quran yang membantah ketuhan Yesus (Al-Maidah: 72); (At-Taubah: 30), trinitas (Al-Maidah: 72); (At-Taubah 31) dan penyaliban Nabi Isa (An-Nisa: 157). Dengan pernyataan Al-Quran tersebut membuat kalangan Kristen marah dan geram. Mereka menggap bahwa Al-Quran itu bukan kalam ilahi dan menjadikan Bibel sebagai tolak ukur untuk menilai Al-Quran. Mereka juga menilai bahwa bila Al-Quran bertentangan dengan Bibel maka Al-Quran-lah yang salah. Sebab menurut mereka Bibel adalah God’s Word, yang tidak mungkin salah. Karena Al-Quran berani mengkritik Tuhan dalam Bibel, maka Al-Quran berasal dari Setan. Seperti apa yang dikatakan oleh Salam Rusdi pada abad sekarang, yang mengatakan Al-Quran itu ayat-ayat setan.
Dari kalangan Kristen banyak para pengkritik Al-Quran, seperti Leo III (717-741), Johannes dari Damskus (±652-750), Abdul Masih Al-Kindi (±873), Petrus Venerabilis (Peter the Venerable 1094-1159), Ricoldo da Monte Croce (±1243-1320), Martin Luther (1483-1546) dan masih banyak yang lainnya. Mereka ini berusaha merusak dan menghancurkan sakralitas Al-Quran dan ingin menyamakannya dengan Bibel. Seperti apa yang dikatakan Alphonse Mingana pada tahun 1927. Dia seorang pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham Inggris. Dia mengumumkan”Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab Kristen yang berbahasa Yunani.”
Hal semacam ini muncul dilatarbelakangi karena kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan oleh kecemburuan dan kedengkian mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Quran.
Penomena ini terus berlangsung hingga sekarang. Berbagai hujatan muncul terus-menerus terhadap Al-Quran. Bukan hanya sekedar muncul dari kalangan non-Muslim tetapi juga dari kalangan muslim sendiri. Yang nota bene mereka belajar Agama Islam dari para orientalis di Barat. Begitu juga yang terjadi di Indonesia, hujatan-hujatan muncul dari kalangan intelektual muda muslim.
Kita selaku muslim yang tetap memegang teguh ajaran dan tradisi Islam harus bisa mensikapi tuduhan-tuduhan miring terhadap Islam terutama Al-Quran kitab suci umat Islam. Bila terus dibiarkan tanpa ada perlawanan, maka agama kita akan hancur lebur yang tersisa hanya namanya saja.
Untuk menjawab tantangan-tantangan dan serangan orientalis—missionaris Yahudi dan Kristen merupakan tanggungiawab kita bersama. Segala upaya harus kita lakukan untuk menjaga dan melestarikan Islam agar tetap sesuai dengan tuntunan dan ajaran Rasulullah SAW. Wallahu ‘alam Bi shawab

Hikmah

PESAN RAMADHAN
Oleh: Mulyana Kosawara Al-harir
Dengan datangnya hari ‘idil fitri ini menunjukan dan mengisyaratkan bahwa bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan telah berakhir, sekaligus menandakan “berakhirnya” pula rutinitas amalan sepanjang Ramadhan yang dilakukan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia.
Di Bulan Ramadhan, kita menahan rasa haus, lapar, dan bersetubuh di siang hari. Malam harinya shalat taraweh berjamaah yang rutinitasnya dilakukan seusai shalat isya, bangun pagi hari atau sepertiga malam untuk melaksanakan sahur. Tidak ketinggalan juga, amalan soleh sosial bertebaran di mana-mana. Dari mulai membagikan sembako, sumbangan untuk pembangunan tempat-tempat umum, khususnya sarana ibadah (masjid). Tidak ketinggalan juga membantu para korban bencana alam serta banyak lagi amalan soleh sosial yang muncul pada waktu itu. Mereka seakan-akan terhipnotis sang Ramadhan, yang nampak orang-orang berubah menjadi sosok orang shaleh, bak malaikat. Itulah rutinitas amalan soleh Ramadhan yang nampak kepermukaan selama bulan itu berlangsung.
Tanpa kenal lelah dan bosan kaum muslimin selalu menyambut kehadiran Ramadhan yang tiap tahun hadir menyapanya dengan berbagai rutinitas persiapan, baik itu persiapan yang disyaritkan ataupun yang sudah menjadi adat kebiasaan. Seperti menyambut kedatangan bulan Ramdhan dengan do’a, saling maaf memaafkan (istilah sunda “kuramasan”), munggahan (sahur pada hari pertama di bulan Ramdhan dengan hidangan istimewa), dan berbagai ritual lain yang sudah biasa dilakukan.
Akan tetapi, haruskah dengan berakhirnya bulan Ramadhan semua yang menjadi kebiasaan di bulan itu hilang begitu saja, hilang ditelan bumi tanpa ada perubahan sedikitpun terhadap karakter akhlak kita. Tentu bukan itu yang diharapkan. Akan tetapi bulan Ramadhan harus melahirkan manusia yang bertakwa. Sebagaimana yang dipesankan dalam al-Qur’an yang tidak asing lagi dibenak kita, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan ataskamu berpuasa sebagaiman diwajibkan ataskamu sebelum kamu agar kamu bertakwa”(QS. Al-Baqarah [2]183).
Dengan datangnya bulan Ramadhan, dan rutinitas amalan sholeh yang biasa kita kerjakan dalam mengisinya dengan penuh keyakinan dilipatgandakan pahala, dan penilaian kuwalitas ibadah yang langsung dinilai oleh Allah SWT. Rutinitas tersebut harus terbawa dan menjadi kebiasaan pada bulan-bulan di luar Ramadhan. Misalnya dua rutinitas Ramadhan yang sudah biasa dikerjakan oleh semua muslim, yaitu sahur dan shalat tarawih. Kedua amalan tersebut harus menjadi pelajaran dan didikan untuk membiasakan bangun tengah malam untuk melakukan salat tahajud, sebagai sarana yang paling utama dalam memanjatkan do’a dan waktu yang paling tepat dikabulnya do’a. apalagi shalat tahajud tersebut dilaksanakan di akhir sepertiga malam. Sedangkan rutinitas amalan soleh sosial harus menjadikaan kesadaran, kepekaan, dan kepedulian terhadap sesama kaum muslimin dalam melejitkan ibadah ghaermahdoh.
Dengan melejitkan amalan soleh sosial dengan dasar keimanan yang benar, dan kesadaran serta mendawamkan rutinitas Ramadhan di luar bulan Ramadhan. Insyaallah tidak hanya rasa lapar dan dahaga yang diraih. Akan tetapi, ampuan dan pahala perlipat serta kesucian fitrah agama.


Resensi

DAKWAH BIL QALAM

Oleh: Irwan Munawan
Dakwah memegang peranan dalam keberlangsungang ajaran Islam. Karena dakwah memiliki peran yang sangat penting untuk mempertahankan eksistentesi Islam. Tradisi ini selalu dilakukan oleh para pengemban risalah ilahi dari generasi ke generasi, yaitu oleh para nabi dan rasul. Dakwah mereka dijadikan sebagai senjata dalam menggembangkan agama Islam di tengah umat manusia.
Dengan dakwah, agama Islam bisa menyebar ke berbagai pelosok dalam dan luar negeri. Seperi yang kita ketahui bahwa Islam sampai ke Indonesia dibawa dengan dakwah Islam yang dibawa oleh para pedagang, hingga Islam biasa berkembang seperti saat ini.
Tradisi dakwah Islam tidak hanya dengan dakwa bil lisan saja tetapi memiliki tradisi dakwah melalu tulisan atau dakwah bil qalam. Hal ini terlihat sepanjang sejarah perjalanan dakwah Islam. Seperti surat yang dibuat Nabi Sulaiman kepada ratu Bilqis. Juga nabi Muhammad lakukan dalam penyebaran dakwah Islam. Beliau juga mengirim surat kepada Kaisar Najasi, Kaisar heraklius dll. Terus diikuti oleh para sabahat-sahabat nabi dalam upaya penyebaran dakwah Islam.
Dakwah bil qalam ini tidak kalah pentingnya dari dakwah bil lisan. Karena dengan sebuah tulisan dakwah itu bisa terdokumentasikan. Mungkin dakwah bil lisan itu bisa mudah dilupa oleh orang, tetapi dengan dakwah bil qalam bisa dinikmati dari generasi ke genarasi. Seperti apa yang kita nikmati sekarang. Berbagai karya para ulama sampai pada kita dan bisa kita baca. Bila seandainya pada ulama tidak menulis mungkin karya mereka tidak bisa kita nikmati dan terpublikasikan.
Disinilah jurnalistik Islam memiliki peran dalam keberlangsungan dakwah bil qalam untuk mementukan masa depan Islam. Jurnalistik Islam sebagai cara atau media dalam penyebaran nilai-nilai Islam. Tentunya dengan landasan juranalistik Islam tidak terlepas dari sumber Islam yang pokok, yaitu Al-Quran
Buku ini yang ditulis oleh Suf Kasman dengan judul “Jurnalisme Universal, Menelusuri Prisip-prinsip Dakwah Bil Al-Qalam” menyajikan sebuah karya yang cukup langka. Menurut Prof. KH. Ali Yafie dalam kata sambutanya mengatakan, bahwa karya ini merupakan buku pertama yang mengungkap kisah sejarah jurnalisme dalam Al-Quran.
Dalam buku ini dia menjelaskan perbandingan jurnalistik pada umumnya dengan jurnalistik Islam. Yang mana jurnalistik Islam itu mempunyai peran dalam dakwah bil qalam dengan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Perbedaan ini sandat kontras sekali dengan pesan yang disampaikan oleh keduanya.
Suf Karman ini sangat unik dalam menjelaskan penomena dakwah bil qalam dalam Al-Quran. Dia mampu menerusuri ayat-ayat yang menjelaskan tentang pena, tinta, kertas, menulis, membaca berdasarkan ayat Al-Quran dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir dan pendapat para ulama.
Dia juga menjelaskan bagaimana surat nabi Sulaiman kepada Ratu Bilqis sebagai pelopor dakwah bil qalam dalam Al-Quran. Juga menganalisis surat Nabi Muhammad kepada para Kaisar dan surat para sahabat Nabi SAW.
Dengan memperhatikan secara seksama dari surat-surat di atas menunjukan bahwa tradisi dakwah bil qalam ini terus dipelihara dalam Islam. Tradisi ini yang membuat Islam itu tetap eksis dalam menyebarkan ajarannya. Maka dari itu dakwah bil qalam itu harus terus kita tradisikan sebagai penunjang dakwah bil lisan.


Buku ini layak kita apresiasi setinggi-tingginya, karena berhasil memjelaskan formulasi dakwah bil qalam dalam Al-Quran. Mudah-mudahan buku ini menjadi jariah ilmu yang pahalanya akan terus mengalir kepada penulisnya sampai dia meninggal.

JUDUL BUKU
JURNALISME UNIVERSAL

Menelusuri Prinsip-Prinsip Dakwah Bil Qalam Dalam Al-Quran
PENULIS
Suf Kasman
PENGANTAR
A. Faisla Bakti, Ph. D
SAMBUTAN
Prof. Kh. Ali Yafie
TAHUN TERBIT
Februari 2004
PENERBIT
TERAJU

GERAT (GERakan bAca Tulis)

MENJADI PENULIS PROFESIONAL, SULITKAH?
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Penulis sekaliber Kuntowijoyo, yang tersohor mahir membuat macam-macam tulisan dari tulisan ilmiah yang serius sampai menulis fable-fabel yang kelihatannya sepele, hanya menyarankan tiga hal agar dapat menulis: pertama, menulis; kedua, menulis; dan ketiga, menulis. Oleh karena itu menjadi penulis tak melulu memerlukan bakat. Bakat dalam menulis hanya menduduki nomor sekian. Tidak ada manusia yang tidak berbakat dalam menulis termasuk anda. Kalau anda Tanya setiap penulis, pasti akan mengatakan hal yang sama bahwa bakat saja sangat tidak cukup untuk menjadi penulis. Saran Mas Kunto sangat tepat. Untuk menjadi penulis modalnya hanya menulis. Siapa pun yang sudah mau memulai menulis, lalu menulis, dan terus menulis, atas izin Allah akan segera menjadi penulis hebat.
Jangan tanya apa yang harus ditulis. Apa pun dapat dituliskan. Saat anda dimaki orang di tengah jalan, dan anda merasa sangat sakit hati, kenapa pengalaman itu tidak anda tuliskan sesampai di rumah. Bukankan sakit hati seperti itu jarang-jarang terjadi? Kalau itu dituliskan tentu akan menjadi dokumentasi berharga, paling tidak untuk anda sendiri. Saat anda melihat sesuatu yang unik akan sangat menarik bila pengalaman it uterus diabadikan dalam tulisan sesampai di rumah.
“Yang begitu-begitu, kan nggak serius?” Saya kira masalah serius atau tidak bergantung pada persfektif kita. Anda tahu komik? Apakah anda akan menyebutnya sebagai gambar yang nggak serius? Baiklah, untuk sementara saya akan ikut Anda mengatakan “ya”. Tapi kenapa sangat banyak orang senang membaca komik? Bahkan bahasa gambar komik tak perlu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Cukup sekali digoreskan, seluruh dunia akan bisa menikmatinya tanpa harus mengernyitkan dahi. Bukankah kenyataan itu menunjukan bahwa komik yang kita anggap nggak serius itu, ternyata sungguh-sungguh sangat serius. Oleh sebab itu, ribuan pengusaha di dunia ini sengaja menanamkan uangnya hanya untuk ngurusin komik yang nggak serius itu. Bahkan konon, pembuatan satu episode film kartun bagus seperti kartun-kartunnya Walt Disney membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan membuat film biasa bertaburan bintang.
Jadi, sesungguhnya tak ada kejadian yang tidak penting dan tidak serius di dunia ini. Humor sekalipun sesungguhnya sangat serius. Buktinya banyak orang yang menyukainya. Bahkan jutaan orang hidup dari humor. Itu semua menunjukkan bahwa tidak ada tema yang tidak serius. Semua hal bisa kita buat serius, bila kita memandangnya dari persfektif yang berbeda. Untuk itu, lupakan pertanyaan anda tentang “apa yang harus ditulis”!
Kita kadang-kadang terlalu terjebak dengan kebiasaan-kebiasaan orang lain menulis. Saat orang hanya menulis laporan penelitian yang ilmiah, artikel Koran, laporan reportase wartawan, cerpen, cerbung, novel, puisi, dan sebagainya, kita jadi hanya berpikir bahwa yang harus dituliskan adalah hal-hal seperti itu. Memang tidak salah, bila anda ingin menulis seperti itu. Tapi kalau itu menghambat anda untuk memulai menulis, segera tanggalkan! Tahukah anda bahwa catatan harian Ahmad Wahib yang mati muda tahun 1979 itu hingga kini masih terus dicetak ulang? Saya yakin, saat menuliskannya, Ahmad Wahib tidak pernah berpikir tulisannya akan dibukukan dan dibaca orang sampai puluhan tahun kemudian sesudah dia meninggal.
Sekali lagi lupakan tentang “apa yang harus ditulis’! Kita bisa menulis apa saja yang kita inginkan. Jangan pernah takut salah dan jangan pernah takut tulisan kita tidak konvensional. Sesuatu yang konvensional (sudah biasa) disebut konvensional karena terus menerus ada yang mengerjakan seperti itu. Bukankah kalau model tulisan baru kita yang nggak konvensional itu kemudian ditiru orang lain dan terus menerus ditiru akan menjadi konvensional juga, kan? Kalau bahasa itu arbiter (mana suka), maka cara menuliskannya pun sesungguhnya arbiter pula. Sudahlah bagian ini nggak perlu terlalu dipikirkan. Itu kan hanya teori orang-orang yang belajar bahasa.
Sulit menuliskannya? Sulit memulainya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita menjadi pemalas nomor wahid. Sesungguhnya tak ada yang sulit kalau kita mau membuang sifat pemalas kita. Musuh para penulis bukan kesulitan menulis, tapi kemalasan menulis. Kalau malas sudah datang, jangankan yang sulit, yang mudah pun nggak pernah jadi. Percayalah bahwa kesulitan itu hanya saat-saat pertama anda memulai menulis. Selanjutnya, menulis bukan pekerjaan yang rumit. Masalahnya, kita tak pernah mau mencoba. Bukankah orang tua dulu selalu bilang ala bisa karena biasa. Atau orang-orang Arab sering mengatakan man jadda wajada. Hampir tak ada kesulitan yang tidak akan teratasi dengan kesungguhan dan ketekunan.
Kalau begitu, apa sulitnya menjadi penulis? Kalau soal professional atau tidak itu kan Cuma istilah. Anda tak perlu berpikir Anda akan menjadi penulis professional atau tidak. Yang terpenting adalah mulai menulis. Menjadi professional atau tidak hanya akibat. Wallahu ‘Alam.

Cerpen

SENADUNG LAGU KARAM

Oleh: Deasy
(Mahasiswa STKIP Garut)
“Sungguh, beribu-ribu lirik lagu yang kutulis untuknya, akhirnya harus karam, ditelan ombak kehidupan yang ganas. Dan kini, akan kumulai menyanyikan satu demi satu lagu itu, di hari pernikahannya.”
Pernahkah kamu mencintai seorang perempuan? Aku pernah. Ia berjalan seakan telapak kakinya tak menjejak tanah, begitu ringan, begitu indah. Jilbabnya terulur, begitu rapih, begitu anggun. Dan matanya, begitu tunduk, begitu rapuh. Aku pernah melihat matanya penuh dengan luka, dengan air mata. Namun bahunya terlihat kuat, dan ia tetap berdiri tegak disana, menghadapi hidup. Aku pernah melihat ia terlibat dalam masa-masa sulit, ingin kemudian aku mengulurkan tangan untuk sekadar menghapus air mata, dan menegakkan bahunya. Namun, ia nampak tak membutuhkannya. Perempuan mana yang setangguh, sesabar, dan seanggun ia dalam menjalani hidup ini? Aku tak melihat peluang. Ia hanya satu-satunya. Hanya dia.
Aku pernah melihat tawanya. Seakan kupu-kupu berterbangan dari wajahnya. Menaungi dunia dengan kepakan kebahagiaan, gerakan kebahagiaan dan aura keceriaan. Aku pernah melihat senyumnya. Senyumnya seperti fajar yang merekah di pagi hari, menyiram kegelapan dengan cahaya. Apa lagi yang harus kukatakan? Ia begitu memukau.
Ketika berjalan, yang kupandang adalah langkah kakinya. Ketika berpapasan, aku mencium bau bejana terguyur air hujan. Ketika berbicara yang kulihat adalah tudung jilbabnya yang bundar. Ketika melihatnya tertawa, aku hanya dapat melihat bahunya terguncang. Ia senantiasa menyembunyikan tawanya dalam simpul senyum, dan membisikkannya lewat udara di sekelilingnya bahwa ia tengah tertawa.
Lalu kemudian, suatu ketika matanya mengembun. Dan ketika bulu matanya bersujud, sebuah mata air kecil terbentuk jatuh, menelusuri tulang pipinya yang kokoh. Namun, tak pernah kulihat keluhan dari sudut bibir merahnya. Tak pernah aku melihat kerut di keningnya, dan tak pernah sedikitpun kulihat ia menaikkan alisnya. Ia seperti seteter air di tepian daun di pagi hari. Embun pagi. Atau, seperti sinar ungu kehijauan yang terbentuk di langit dingin kelabu di dataran salju. Aurora. Tuhan, dengan apa lagi aku melukis kecantikannya? Mata ini sepertinya berkhianat dan terus-menerus menatapnya, mengingkari iman, dan membenarkan hati. Aku jatuh cinta. Jatuh cinta. Jatuh cinta.
Setiap tutur kata yang keluar, menaungi telingaku, menyejukkan hati. Setiap gerakannya, sekecil apapun itu, selalu kudamba. Setiap kehadirannya, selalu, setiap hari, setiap jam, setiap menit, dan detiknya. Aku merangkainya dalam untaian kata, diiringi sederet doa penuh cemas dan hati yang galau. Aku menuliskan semua tentangnya di kepalaku, seraya meraba nada-nada yang tak berirama dalam jantungku. Pelan aku memintalnya menjadi jutaan benang-benang langit jingga hatiku. Pelan aku menyulamnya menjadi derasnya langit biru anganku. Pelan aku menjaganya dalam pasir di hatiku, dalam buai di samudera kasihku.
Dengannya, hari-hariku menjadi empat musim yang berganti begitu cepatnya. Dengannya, deru angin menjadi simfoni tersendiri serupa dengan gemericik air yang terjatuh di hitamnya bebatuan. Dengannya, aku begitu utuh. Serupa kepingan puzzle yang tepat di keempat penjurunya.
Seraya memendam kerinduan yang mengerak, dengan hati yang luar biasa mengigil, aku menjalin lagu dengan hati yang teriris-iris. Penuh kutambatkan pada dentingan nada, pada merdunya suara-suara kata hati. Berulang kali, hingga menjadi ribuan lagu. Ribuan lagu yang senantiasa berdoa dalam dentingan nadanya.
Kemudian, lagu itu mulai berlayar dalam semilir angin. Berharap, lagu itu terdengar di telinganya. Ia memang mendengarnya. Lalu ia tersenyum, tanpa menyadari bahwa lagu itu untuk langkah kakinya, untuk tangisannya, untuk senyumannya, untuk gerakan kecilnya, dan untuk risau yang ia timbulkan di langit hatiku.
Namun itu tak menyurutkan langkahku untuk terus bersenandung. Lagu itu berlayar. Terombang-ambing dalam lautan penantian semu. Hendak berlabuh pun tak kuasa, karena aku memang tak bersuara. Tak punya hak sedikitpun untuk mengatakan padanya. Ketenangannya membelengguku. Aku seperti gejolak api yang akan melalap salju. Aku tak kuasa. Aku takut menyakitinya. Aku mencintainya, sekaligus takut menyakitinya.
Dan ia tetap menjulang disana. Dengan kecemerlangannya, dengan sinar kemilaunya, dengan cahaya di sekelilingnya. Tak terusik sedikitpun oleh gelisahnya jiwa di dadaku. Biarlah, Tuhan, biar aku yang menanggungnya. Biarlah ia tetap cemerlang di sana.
Kemudian, ia masih tetap cemerlang. Anggun dalam segala aktivitasnya. Begitu memukau. Begitu memukau.
Kemudian, aku menguatkan hati. Aku berkata pada Ibuku, ada seorang ratu yang bertahta di hatiku.
Melihat rona wajahku, binar di mataku ketika menceritakan sang ratu, Ibu membelai ubun-ubunku. Mencium keningku. Ketika melakukannya, seketika aku merasa ribuan helai rambut di keningku basah. Embun di matanya mengalir hangat di keningku Ibu menangis mendengar penuturanku. Sudah tepatkah pilihanmu, Nak. Bisik Ibu di telingaku. Suaranya begitu lembut, begitu bergaung, menggema sampai ke dalam jiwa. Aku mengangguk, membenarkan semua yang terjadi di lubuk rasa. Kalau demikian, lakukanlah. Tak usah kau meragui hati kecilmu lagi. Berjuanglah, untuk kebahagiaanmu sendiri.
Lalu aku berlari, mengejar sesuatu yang Ibu sebut dengan ’Kebahagianku’. Tapi, tidak. Aku pun ikut menyebutnya dengan ’Kebahagiaanku’. Dengarlah pohon, dengarlah rumput, ia akan menjadi milikku. Dengarlah surya, dengarlah angin, ia akan menjadi pelita di malam-malamku. Dengarlah air, dengarlah ombak. Ia akan menyapu telapak kakiku yang penat dengan air hangat. Ia menjadi penggembira hati di kala sedih, dan pengingat duka di kala lalai. Ribuan senandungnya akan membalas senandung yang kini aku dendangkan di setiap keseharianku.
Bersama murabbi, aku bergegas menemuinya. Sang ratu tengah duduk di sebuah kursi rotan di depan rumahnya. Melintasi pekarangan yang tidak terlalu luas menuju titik dimana ia berada, lututku seakan lumpuh. Ustadz menepuk punggungku pelan. Aku tersenyum gugup. Kerikil di sepanjang tanah seakan ikut menggodaku. Rasa cemas ini serasa mau meledak. Tak ada yang lebih membahagiakanku selain mendengar jawaban, mendengar senandung hatinya, yang selama ini tersembunyi dalam hatinya.
Melalui ekor sudut mataku, aku melihat warna langit cerah yang ketika itu tengah duduk di kursi bangkit berdiri. Ia tersenyum lalu menyapaku. Ia memanggil namaku. Tak pernah aku tahu bahwa selama ini, ia menyadari keberadaanku dan ingat pemilik nama yang kusandang. Tapi kutahu, selama ini ia tuli mendengar senandungku untuknya.
Lalu ia melihat murabbi. Kecerdasannya, menjadikan ia paham maksud kedatanganku. Belum sempat kami berkata dari hati ke hati, ia meminta maaf untuk dua hal. Pertama, ia meminta maaf karena orang tuanya tidak berada di rumah sekarang, sehingga ia terpaksa membiarkan aku dengan Ustadz duduk di kursi rotan di beranda. Kedua, ia meminta maaf untukku. Untuk ’Kebahagiaanku’. Jari-jemarinya menyodorkan sesuatu yang membuat senandung laguku karam. Sebuah kertas yang tergulung berwarna biru mempercepat karamnya senandungku. Langit jinggaku pecah. Biru anganku menguap dengan cepat. Aku tak’kan pernah melupakan rona wajahnya sesaat setelah mataku yang terluka, menatap ke dalam matanya. Mempertanyakan hatinya. Ia memang tuli terhadap senandungku.
Dua hari setelah sang ratu menyodorkan gulungan kertas biru yang membuat senandung laguku karam, murabbiku wafat. Lalu aku jatuh tak sadarkan diri dalam kesedihan yang melarut, dalam sujud panjangku, dan dalam tangis khusyu saat membaca kitab-Nya, di hari-hari menjelang pernikahannya.
Sungguh, beribu-ribu lirik lagu yang kutulis untuknya, akhirnya harus karam, ditelan ombak kehidupan yang ganas. Dan kini, akan kumulai menyanyikan satu demi satu lagu itu, di hari pernikahannya.
Untuk kali ini, Tuhan, aku bersyukur. Ia tidak tuli lagi. Lewat gorden biru laut yang menghijab dua mahluk Allah dari sulbi Adam dan pasangannya itu , aku dapat merasakan bahwa sang ratu mendengar senandungku. Bau semerbak haru melati seakan berkata ribuan maaf darinya untukku, untuk ‘Kebahagiaanku’.
Aku tersenyum dalam senandung-senandungku yang karam. Seraya mengingat warisan murabbi,
Jika engkau benar-benar mencintai dia karena Allah, engkau pun akan meninggalkan dia karena Allah.
-Tamat-

Puisi

SENYUMKU
Karya: A’I Rina
(Mahasiswa STKIP Garut Jurusan Matematika)
Ku sapa diriMu
Ku sebut diriMu
Ku puja diriMu
Ku tatap wajahMu
Hingga Kau datang menghampiriku
Kau tersenyum padaku
kado cantik Kau berikan padaku
Hanya Kaulah yang mengerti apa yang ku inginkan
Ku tersenyum..
Ku pun ingin tersenyum diakhir cerita
Ku merasa…
Betapa dekatnya diriMu
Ketika ku membalik
Kau panggil namaku
Hingga ku kembali bersamaMu
Do’aku senantiasa Kau kabulkan
Harapanku terlaksana
Ku tenang,, senang
Karena Kau disampingku
Ku membalik
Kau kembali memanggil namaku
Hingga kau memelukku
Ku kembali di sisinya
Kembali ku membalik
Kau menegurku
Hingga dekapanMu terasa menyakiti tubuhku
Ku kecewa dengan sikapMu
Ku membalik
Kau hanya menatapku
SapaanMu tak terdengar
SenyumMu tak terlihat
Kau membiarkan ku menikmati hidup dengan puas
Ku masih dibelakang
Hingga Kau menghilang
Tak terlihat bayanganMu sedikitpun
Hingga ku kehilanganMu
Ku merasa
Ku butuh diriMu
Ku begitu membutuhkanMu
Kenapa Kau tak menyahut sapaanku
Kau membiarkanku
Kau tidak mempedulikanku
Kini ku menderita, karena ku kehilanganMu
Karena Kau meninggalkanku
Ceritaku sebentar lagi berakhir
Ku ingin tersenyum…
Tetapi ku hanya bisa menangis
Menangis,, menangis,, dan menangis
Harapanku, tersenyum diakhir cerita telah sirna…



Sapaan Alam

Burung-burung menyapaku
Dengan suaranya yang indah
Membuatku tersenyum
Tiupan dan desahan angin
Dedaunan jatuh dibuatnya
Dedaunan yang masih rekat, berbisik
Tak sadar ku mengucap subhanalloh
Ku persembahkan rasa syukurku pada Yang Maha Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan
Matahari masih bersembunyi
Dia malu untuk memperlihatkan wajahnya
sedikit demi sedikit ia mulai nampak dengan wajahnya yang kemerahan, malu
Kepeduliannya kepada hamba-hamba ﺍﷲ
Ia ikhlas memberikan kehangatan kepada rekannya yang menunggu kedatangannya
Siapapun dia,,
Tasbih pun terucap, memecah suara alam
Kekuatan cinta dan rindu kian mengikat
Mengikat ayat-ayat suci yang senantiasa dikumandangkan
Al-fatihah pun di kumandangkan
Untuk mengawali hari


BULLETIN AL-KASYAF

Diterbitkan Oleh:
Forum Lingkar Pena Garut


Penasihat:
Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum
Pepen Irfan Fauzan, S.S

Pimpinan Umum:
Hamzah Zaelani

Dewan Redaksi:
Irwan Munawan

Pimpinan Redaksi:
Mulyana Koswara

Tim Redaksi:
Lena Mardiana
Yan yan Nurdin
Mekarisma
Sandi Susandi

Design & Lay Out:
Shawabil Ihsan
Pemasaran:
Team FLP Garut

Sekretaris Redaksi:
Shawabil Ihsan













































Tidak ada komentar:

Posting Komentar